Jakarta, aspekindonesia.com│Rabu, (11/9) Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) sangat prihatin dengan kebijakan ketenagakerjaan dari Pemerintah saat ini yang semakin pro pemodal dan pro asing, serta meminggirkan potensi dan hak rakyatnya sendiri. Salah satu kebijakan terbaru yang sangat mengusik rasa keadilan adalah terkait dengan semakin dimudahkannya Tenaga Kerja Asing (TKA) ketika bekerja di Indonesia. Tanggal 27 Agustus 2019, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri telah menandatangani Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu Yang Dapat Diduduki Oleh Tenaga Kerja Asing.
Seharusnya Menteri Ketenagakerjaan lebih fokus untuk mengatasi gelombang PHK massal yang saat ini semakin tidak terkendali. Bukan malah mengeluarkan keputusan yang akan berpotensi merugikan kehidupan rakyat Indonesia dalam mendapatkan pekerjaan.
Kepmenaker 228/2019 yang semakin memperluas jabatan yang dapat diduduki TKA ini, seperti ingin menegaskan sikap Presiden Jokowi yang pernah menyatakan (kutip) bakal “mengejar” dan “menghajar” pihak yang menghambat investasi di Indonesia. Sayangnya kali ini yang menjadi korban “hajaran” Presiden adalah rakyatnya sendiri. Demikian disampaikan Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers ASPEK Indonesia hari ini.
Dengan adanya Permenaker 228/2019 semakin menguatkan bahwa Presiden Jokowi ternyata belum bisa memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya sendiri. Di saat jumlah pengangguran yang masih tinggi, yaitu sebanyak 6,82 juta orang (data BPS Februari 2019) serta banyaknya pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai perusahaan di Indonesia, Mirah menilai terbitnya Kepmenaker 228/2019 ini tidak tepat dan harus dibatalkan. Kami tidak anti investasi, tapi kami berharap investasi tidak untuk menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi TKA dan justru tidak memberikan jaminan kepastian pekerjaan bagi rakyat Indonesia. TKA harus dibatasi hanya untuk pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus serta ada pendamping tenaga kerja lokal sebanyak mungkin untuk transfer keahlian, bukan malah dipermudah.
Mirah juga meminta kepada Presiden Jokowi untuk segera mewujudkan janji-janji saat kampanye Pilpres pada tahun 2014 dan 2019 yaitu akan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin untuk kemudian menyerap tenaga kerja lokal bukan justru memudahkan masuknya TKA bekerja di Indonesia.
Sementara itu, Sabda Pranawa Djati, SH, Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia, menyoroti lemahnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan terhadap berbagai pelanggaran TKA di lapangan, seperti banyaknya pekerja asing ilegal, tak memiliki izin atau habis masa berlaku izinnya, atau tidak sesuai kriteria persyaratan. Contoh yang paling viral dan juga telah menjadi temuan Ombudsman RI pada akhir 2017 adalah pelanggaran di PT Virtue Dragon Nikel Industri di Konawe Sulawesi. Saat itu ada 795 TKA yang belum memiliki IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing) tapi perusahaan tidak diberikan sanksi. ASPEK Indonesia juga mendapatkan laporan langsung dari pekerja di lokasi yang datang ke kantor ASPEK Indonesia, ungkap Sabda.
Selama ini Pemerintah selalu menjadikan alasan minimnya jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan namun tidak pernah memberikan solusi kongkrit untuk mengatasi keterbatasan tenaga pengawas tersebut. Sabda yang pada 2013 – 2014 pernah menjadi anggota Lembaga Kerja Sama Tripartit Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan bahwa alasan keterbatasan tenaga pengawas adalah alasan klasik, yang selalu diungkap berulang-ulang hingga hari ini. Seperti mendengarkan kaset usang yang diputar ulang, kritik Sabda.
Terkait kebijakan ketenagakerjaan ke depan, ASPEK Indonesia meminta Presiden Jokowi untuk kembali ke cita-cita luhur didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan bukan untuk kemakmuran individual atau kelompok bangsa lain.(TM/SPD)