Oleh : Ir. Ahmad Henry Machsuni, S.T, M.T
Ketua Sektor ICTS – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia)
Film horor Indonesia berjudul “Pabrik Gula”, yang telah meraih lebih dari 4 juta penonton, tidak hanya menyajikan kisah mencekam tentang kehadiran makhluk halus, tetapi juga membuka tabir gelap dunia kerja yang sarat akan eksploitasi, kerakusan, dan ketimpangan dalam relasi industrial.
Dalam alur cerita, pabrik menjadi panggung utama bagi kehancuran dan teror. Tempat yang mestinya menjadi simbol kemajuan dan kesejahteraan justru digambarkan sebagai ruang pengorbanan demi keuntungan segelintir orang. Yang mencolok, absennya Serikat Pekerja atau Serikat Buruh memperjelas kondisi ketimpangan tersebut. Para buruh dihadirkan semata-mata sebagai alat produksi tanpa suara dan tanpa perlindungan. Mereka menghilang satu per satu tanpa penyelidikan atau pembelaan. Buruh dalam film ini tak lebih dari roda penggerak dalam mesin industri yang berjalan tanpa henti, bahkan jika nyawa menjadi harga yang harus dibayar. Ini adalah gambaran menohok tentang bagaimana relasi kerja bisa berubah menjadi bentuk penindasan sistematis.
Sunyinya kehadiran Serikat Buruh menciptakan atmosfer ketakutan yang senyap namun menusuk. Film ini tampaknya ingin menyuarakan bahwa tanpa keberadaan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, pekerja akan selalu berada dalam posisi rentan terhadap kekuasaan yang menindas.
Lebih dari sekadar film horor, “Pabrik Gula” adalah kritik sosial terhadap sistem kerja yang meminggirkan nilai kemanusiaan. Hal ini menunjukkan sebuah mekanisme yang melanggengkan kekuasaan, menekan suara buruh, dan menjadikan ketidakadilan sebagai hal yang normal. Ini adalah cerminan horor sosial yang tak kalah menyeramkan dari wujud-wujud gaib dalam film.
Idealnya, hubungan industrial harus dibangun atas dasar kemitraan antara tiga pihak utama: pengusaha, pekerja, dan pemerintah. Di dalamnya, Serikat Pekerja berperan penting sebagai pengimbang kekuasaan, penjaga kepentingan buruh, dan katalisator dialog. Serikat yang independen dan kuat dapat mendorong terwujudnya iklim kerja yang sehat, produktif, serta adil.
Sudah saatnya kita menolak logika yang menempatkan buruh sebagai korban sistem ekonomi. Dunia usaha tidak bisa tumbuh di atas penderitaan tenaga kerja, dan buruh tidak seharusnya direduksi menjadi angka statistik belaka. Hubungan kerja yang harmonis hanya bisa terwujud dengan keadilan, akuntabilitas, dan ruang partisipasi aktif yang dijamin keberadaannya, salah satunya melalui Serikat Pekerja yang jujur dan demokratis.
Walau layar bioskop telah menutup kisah “Pabrik Gula”, pesan yang diusungnya terus bergema bahwa horor sejati dalam dunia kerja bukan sekadar soal setan, tetapi tentang sistem yang menindas secara diam-diam. Mari kita hadapi kengerian ini dengan solidaritas, keberanian untuk bersuara, dan komitmen membangun kekuatan buruh yang sejati.(TM/RS)