Jakarta, aspekindonesia.com | (26/11/2024) Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) bersama dengan berbagai organisasi serikat pekerja lainnya dan kuasa hukumnya dari Integrity Law Firm, menghadiri sidang perkara judicial review terkait Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) di Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang ini, agenda utama adalah mendengarkan keterangan dari pihak Presiden Republik Indonesia dan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP TAPERA), yang menjadi salah satu pihak terkait dalam kasus ini.
Tri Asmoko Aripan, Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia, dalam keterangan persnya menjelaskan bahwa dalam persidangan, pihak pemerintah menegaskan bahwa semua pekerja diwajibkan menjadi peserta BP TAPERA. Pemberi kerja pun diharuskan mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta, tanpa terkecuali. Hal ini yang menjadi sorotan utama ASPEK Indonesia dan serikat pekerja lainnya. Menurut Tri Asmoko, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan terkait kewajiban ini.
Pertama, UU Tapera tidak bisa dipisahkan dengan UU No 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan pemukiman. Yang mana dalam UU tersebut tidak ditemukan klausul yang menyatakan pekerja wajib menjadi peserta. Ini berarti kan terjadi pergeseran dari yg awalnya tidak wajib dalam UU No 1/2011 menjadi wajib dalam UU TAPERA.
Kemudian, “Kenapa pekerja diwajibkan ikut TAPERA tanpa melihat apakah mereka sudah memiliki rumah atau belum? Kenapa potongan untuk TAPERA harus dibebankan kepada semua pekerja, tanpa melihat apakah potongan tersebut memberatkan atau tidak? Apakah pekerja yang penghasilannya pas di upah minimum, bahkan yang di bawah upah minimum harus diperlakukan sama seperti pekerja dengan penghasilan lebih tinggi? Ini kan perlu dipertimbangkan,” ungkap Tri Asmoko.
Menurut Tri Asmoko, kewajiban ini menjadi masalah serius karena tidak ada pengecualian atau penyesuaian terhadap kondisi pekerja yang berbeda-beda. Pekerja dan kelas menengah yang hari ini sedang babak belur dengan fakta penurunan daya beli bisa jadi akan semakin kesulitan dengan potongan untuk TAPERA yang menjadi beban tambahan. Selain itu, TAPERA juga belum dimasukkan dalam komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dalam perhitungan upah minimum. Artinya, potongan untuk TAPERA mengurangi daya beli pekerja dan menyebabkan upah riil yang diterima setiap bulan menjadi semakin kecil.
Dalam sidang tersebut, pihak BP TAPERA memberikan keterangan yang cukup menggelitik. Mereka menjelaskan bahwa pekerja yang tidak memanfaatkan fasilitas TAPERA akan diberikan predikat sebagai “PENABUNG MULIA”. Tentu saja, pernyataan ini disambut dengan ketidaksetujuan oleh ASPEK Indonesia dan serikat pekerja lainnya. Tri Asmoko menegaskan, “Kami tidak butuh predikat sebagai ‘PENABUNG MULIA’. Yang kami butuhkan adalah agar kepesertaan TAPERA ini bersifat sukarela, bukan wajib. Kepesertaan yang wajib hanya akan menambah beban bagi kami, apalagi potongan dari upah ini tidak dihitung dalam KHL.” Selain itu BP TAPERA tidak menjelaskan apa keuntungan bagi mereka yang menjadi peserta tapi tidak menggunakan fasilitas TAPERA.
Tri Asmoko juga menegaskan bahwa para pekerja sangat mendukung program tabungan perumahan, tetapi mereka menuntut adanya fleksibilitas dalam keikutsertaan, terutama untuk pekerja dengan penghasilan rendah atau pekerja yang sudah memiliki rumah. Ia menambahkan, “Kami menginginkan adanya pilihan, bukan paksaan. Kalau ada pekerja yang ingin ikut TAPERA, mereka boleh, tapi tidak harus dipaksa.”
ASPEK Indonesia bersama dengan serikat pekerja lainnya berharap Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan keberatan mereka dengan serius. Kewajiban kepesertaan BP TAPERA dinilai akan memberi dampak negatif pada kesejahteraan pekerja, terutama yang memiliki keterbatasan ekonomi. Mereka menuntut agar Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan kewajiban ini, agar tidak menambah beban hidup pekerja yang sudah cukup berat.