Jakarta, aspekindonesia.com│Kamis (13/11) Tuntas sudah tugas mewakili Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) selama 3 hari ini, menghadiri “Asia Social Dialogue Forum 2019” pada tanggal 11-13 November 2019 di Seoul, Korea Selatan.
Acara yang diinisiasi oleh Economic, Social and Labor Council (ESLC) Korea ini, dibuka oleh ‘Assistant Minister of Employment & Labor Republic of Korea’.
Selain dihadiri perwakilan tripartit Korea (Pemerintah, Asosiasi Pengusaha dan Serikat Pekerja), forum juga dihadiri oleh peserta dari Bangladesh, Cambodia, China, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Russia, Sri Lanka, Vietnam, serta pembicara dari European Foundation, AICESIS dan ILO.
Sayangnya, dari Indonesia hanya dihadiri perwakilan serikat pekerja (KSPI) dan tidak dihadiri perwakilan Pemerintah dan Asosiasi Pengusaha. Saya sempat bertanya pada panitia. Menurut pengakuan panitia telah mengirim undangan kepada Pemerintah dan Asosiasi Pengusaha. Namun entah kenapa tidak ada yang hadir?
Dialog sosial itu harus didasarkan pada sikap saling menghormati hak kebebasan berserikat dan pengakuan atas hak untuk melakukan perundingan bersama, untuk selanjutnya bersama-sama merancang kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Forum ini pun menghasilkan “Declaration of 2019 Asia Social Dialogue Forum in Seoul”, yang isinya antara lain; “Melalui dialog sosial kita akan membangun kerja sama dalam hubungan ketenagakerjaan yang ‘win-win’, dan melakukan upaya untuk menyelesaikan permasalahan serta melindungi keamanan kerja di era transisi digital. Seluruh peserta juga sepakat untuk saling bertukar pengalaman dialog sosial dan membuat rencana khusus untuk memperkuat kerja sama.”
Kunci dialog sosial adalah kepercayaan, komitmen dan saling menghargai. Tanpa itu, maka dialog sosial hanya sekedar basa-basi.
Mau bukti dialog sosial yang cuma basa-basi?
Dan di forum itu, saya pun menyampaikan “dialog sosial basa-basi” yang terjadi di Indonesia, antara lain:
- Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan, yang tidak pernah dibahas di Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional ataupun di Dewan Pengupahan Nasional. PP 78/2015 telah menghilangkan hak Dewan Pengupahan untuk dapat berunding upah minimum. PP 78/2015 juga telah menghilangkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan upah minimum di Indonesia.
- Terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16/2015 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), yang meniadakan kewajiban kemampuan berbahasa Indonesia bagi TKA yang akan bekerja di Indonesia. Juga tidak pernah dibahas di LKS Tripartit Nasional, padahal sangat berdampak buruk pada tenaga kerja Indonesia. TKA unskill semakin mudah masuk Indonesia di saat angka pengangguran masih tinggi dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) masal di Indonesia.
Jadi, kita mau mulai dialog sosial dari mana? Jangan salahkan jika pekerja Indonesia akhirnya melakukan aksi unjuk rasa di jalan.
—–
Cuaca di luar sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia.
Daun-daun di pepohonan pun mulai memerah dan menguning, berguguran kemudian melantai di tanah dan aspal jalanan.
Angin musim gugur seperti ingin membekukan aliran darah, menyambut datangnya musim dingin di negeri Drakor dan KPop ini.
Esok, saya kembali ke tanah air, untuk bercengkerama lagi dengan teriknya mentari dan debu jalanan. Catatan kecil dari Novotel Ambassador Seoul Dongdaemun Hotel.
Oleh : Sabda Pranawa Djati, SH (Sekjend ASPEK Indonesia)
Sumber : FB Sabda Pranawa Djati, SH